Seperti kita ketahui bersama bahwa masyarakat Kabaena sangat menjunjung tinggi etika dan norma-norma dalam pergaulan sehari-hari. Namun dengan seiring berkembangnya zaman, perputaran roda waktu yang terus berjalan, tentu adalah hal yang lumrah ketika terjadi perubahan-perubahan bertingkah laku masyarakat Kabaena itu sendiri. Tingkah laku/perilaku itu sendiri sungguh tidaklah lepas dari moral yang kita anut dalam kehidupan. Dan moral yang dimaksud adalah moral yang baik.

Untuk menjabarkan moral baik dan buruk itu sifatnya relatif dan subjektif, ini semua sangat tergantung kepada konversi masyarakat yang menyepakatinya. Contoh kecil saja begini, dulu masyarakat Kabaena tidak pernah mengenal bahwa budaya berkunjung (Melolaica) seorang laki-laki ke rumah seorang wanita melewati jam sembilan malam. Namun justru yang terjadi sekarang, yang penulis temukan adalah bahkan ada yang bertamu hingga jam 12 malam.

Yah seperti yang telah diutarakan diatas bahwa, bagaimanapun nilai baik dan buruk itu selalu mengalami pergeseran makna dari generasi ke generasi. Ini semua kembali kepada persepsi dalam memandang kebenaran sesuatu. Artinya bahwa, mungkin saja persepsi si wanita yang dikunjungi menjadikan itu bukan masalah besar yang patut di pikirkan, atau bisa saja dia enjoy dengan kehadiran tamunya yang melewati ambang batas bertamu.

Inilah yang membuat pengertian yang ambigu, artinya bahwa apakah bias dikatakan sopan? jika ada oknum yang melanggar tata aturan pergaulan di ranah masyarakat yang kebetulan ia tinggali? Penulis tidak paham sama sekali, atas dasar aturan apa hingga individu yang berlaku demikian masih dikatakan sopan?.

Tapi sudahlah, beginilah kalau orang memandang kebenaran dengan persepsi (yang penting aku enak lah). Tanpa melihat aturan yang telah ada sebagai tolak ukur, tetapi dengan dalih kebebasan hak asasi manusia, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau. (Palingan berfikir seperti itu, wah ini kan rumah saya, dia mau tidur disini kek, bukan urusan tetangga.)

Sesungguhnya, dalam konteks luasnya, baik dan sopan adalah adab kebiasaan positif yang diterapkan dan diberlakukan dalam komunikasi masyarakat. Seperti memberi salam ketika akan masuk ke rumah orang lain, nah bagaimana hukumnya orang yang hanya nyelonong saja tanpa memberi salam terlebih dahulu. Padahal dalam komunikasi masyarakat, setiap orang sangat dianjurkan untuk selalu berusaha menampilkan yang terbaik bagi dirinya dan kehidupannya. Tentunya ini dilakukan dengan harapan akan terjadi komunikasi aktif yang menciptakan hubungan yang baik dan tertata.

Komunikasi yang tercipta ini bukan sekedar hubungan personal semata melainkan didasari oleh rasa tanggung jawab terhadap eksistensi kita sebagai manusia beradab. Olehnya itu, keberadaan diri kita akan semakin jelas dalam tata aturan kehidupan bermasyarakat jika kita mampu menerapkan norma kesopanan yg berlaku dimasyarakat tersebut. Bagaimana nilai diri kita sangat tergantung pada bagaimana kita bersikap dalam kehidupan ini.

Semakin tinggi kesopanan kita, maka semakin beradablah kita. Kebaikan dan kesopanan yg kita anut dan terapkan adalah cara kita memberikan cerminan kondisi diri kita sesungguhnya. SOPAN merupakan pengejewantahan sikap dasar yang ada didalam diri kita. Semakin kita memegang sopan dalam kehidupan kita maka orang lain semakin tahu KUALITAS diri kita.

Ingat, masyarakat adalah dewan penilai kita. Oleh karena itulah kita harus berbaik-baik dalam bersikap terhadap masyarakat. Jika kita menginginkan nilai positif, maka lakukanlah hal-hal positif yang kita miliki. Konsep ini sungguh tidak bisa kita hilangkan, karena merupakan bagian integral dalam kehidupan kita.

Diceritakan: Fatma Jouzu


Pernikahan yang disebut Mesinca oleh masyarakat Kabaena merupakan fase kehidupan manusia yang bernilai sakral dan amat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan boleh dibilang terasa sangat spesial. Perhatian pihak-pihak yang berkepentingan dengan acara tersebut tentu akan banyak tertuju kepadanya, mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga setelah upacara usai digelar. Yang ikut memikirkan tidak saja calon pengantinnya saja, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi yang paling utama juga termasuk orang tua dan keluarganya karena perkawinan mau tidak mau pasti melibatkan mereka sebagai orang tua-tua yang harus dihormati.

Ada satu fase pernikahan yang dilakukan masyarakat Kabaena tempo dulu sejak zaman mokole hingga akhir tahun 70-an yang dianggap pernikahan khusus yang disebut “Lumanga”

Adat Lumanga ini adalah budaya masyarakat Kabaena ketika seorang pria melakukan pelanggaran istiadat terhadap seorang wanita. Misalnya: menghamili, mencium, kepergok berduaan saja, bertamu tengah malam, dan hal-hal yang dianggap melanggar etika masyarakat Kabaena.

Prosesi Lumanga dilakukan oleh pihak calon pengantin laki-laki, yaitu dengan cara mengantarkan beberapa wakil yang terdiri dari beberapa orang yang percaya dapat memikul tanggung jawab tersebut. Dalam pertemuan tersebut terjadi pembicaraan untuk menyerahkan semacam denda berupa 4 ekor kerbau jika calon mempelai wanita adalah perawan dan 2 ekor kerbau jika calon mempelai adalah janda.

Biasanya pihak wanita akan segera menerima persembahan yang dibawa oleh pihak pria dengan simbol sirih-pinang. Ini berbeda jika prosesi meminang secara baik-baik. Yang mana dalam pertemuan peminangan seorang wanita secara baik-baik akan terjadi pembicaraan untuk mendapatkan jawaban yang pasti dari pasangan yang akan dijodohkan. Biasanya pihak perempuan akan memberikan jawaban dalam tempo beberapa hari. Adanya tenggat waktu adalah agar perempuan tersebut tidak dianggap “menjual murah” yang begitu mudah langsung menerima lamaran. Masa tenggang tersebut juga difungsikan untuk berunding dengan keluarga dan saudara pihak perempuan, di samping juga untuk menyelidik latar belakang laki-laki secara teliti dan hati-hati. Sedangkan jika Lumanga tidak memberi tenggat waktu. Jika pihak laki-laki melakukan pelanggaran berat terhadap pihak perempuan maka Lumanga dilakukan dengan menyerahkan 4 ekor kerbau tanpa menikahi perempuan yang menerima Langa.

Adat Lumanga hampir tak pernah lagi terdengar gaungnya sejak tahun 80-an kendati terjadi pelanggaran adat. Cenderung penyelesaiannya lebih simpel dan bahkan tak ada yang bertanggung jawab akan hal tersebut. Ini dikarenakan banyak faktor, diantaranya karena sudah langkanya Kerbau di tanah Kabaena sebagai syarat utama Lumanga. Juga dengan hadirnya teknologi digital semacam alat komunikasi via telpon, sms, email dan lain sebagainya yang memungkinkan para sejoli atau pria yang hendak menyambangi wanita idamannya bisa melakukan komunikasi tanpa harus bertemu sesering zaman dulu. dan mungkin ini juga yang kadang meruntuhkan nilai-nilai etika yang dibangun oleh mbue-mbuento terdahulu. <!—more?

26 Responses to “Melolaica & Lumanga”

  • rio:

    benar sekali. Sudah mulai pudar budaya bertamu dgn memperhatikan kaidah2 melolaica apalagi kl ada acara main bola wah bisa sampe pagi 🙂

    • Miss. Jouzu:

      Adalah tugas kita bersama meenjelaskan ke saudara, anak, teman kita bahwa budaya melolaica di Kabaena mempunyai tata aturan yang mengikat jika kita melanggarnya, tentu ada sangsi yang akan kita peroleh. Entah itu sangsi adat atau sangsi yang diberikan/ dicapkan kepada kita oleh masyarakat dimana kita berdiam

  • erawati:

    Lumanga sekarang memang jarang lagi terdengar namun jika ada biasanya membayar dengan sejumlah uang dikonversi dengan nilai Kerbau

    • Miss. Jouzu:

      Lumanga sekarang ini sudah sangat jarang terjadi disebabkan karena aturan yang mengikat pergaulan antara laki-laki dan seorang wanita sudah sangat longgar. Artinya begini, ada saja beberapa case yang saya temukan. Kalau dipikir secara analogi bahwa misalnya bertamu diatas jam 9 sudah melanggar aturan.
      Masalahnya adalah para tetua adat kita sudah tdk mau bahkan enggan mencari masalah dengan membahas masalah yang kelihatan sepele namun sebenarnya dari hal_hal kecil yg demikian lah yang berujung pada pudarnya norma_norma yg berlaku dulu. Padahal itu kan harus dipertahankan

  • nia:

    Menghormati tamu dan menyediakan minuman untuk tamu sudah menjadi budaya turun temurun masyarakat Kabaena. Akan tetapi, kadangkala ada tamu yang kurang mengerti adab bertamu. Tuan rumah sudah menguap-nguap tapi sang tamu anteng aja ngga pulang-pulang apalagi kl yang punya rumah punya anak gadis yang disukai sang tamu.

    Zaman dulu waktu saya masih remaja tak ada yang datang bertamu kerumah lewat dari jam 22.00 malam. Konsekuensinya tentu Lumanga hehe.

    • Miss. Jouzu:

      Wah berarti kita harus kembali menggali aturan-aturan dulu yang selalu dipakai oleh orang tua kita dulu. Memeang menyedihkan kondisi ril dilapanganyang penulis temukan. Dan tulisan ini sengaja diangkat agar para kawula muda Kabaena menyadari bahwa kebebasan yang dimaksud yang diberikan adalah kebebasan yang mengikat, dalam artian bahwa boleh tidak lepas dari tata aturan yang berlaku di masyarakat Kabaena itu sendiri

      • nia:

        ini tentu menjadi tugas kita semua terutama Guru Sekolah, Guru Ngaji, dan para tokoh adat untuk selalu menanamkan budaya-budaya yang menjadi sifat dasar masyarakat Kabaena terutama etika bertamu dan bergaul. Miris melihat kondisi anak-anak zaman sekarang yang mulai terkooptasi dengan kehidupan dunia sekuler yang mana dalam mengucap salam saja jika bertemu teman atau yang lebih tua darinya serasa enggan.

        • Miss. Jouzu:

          Tepat sekali sist, adalah tugas kita semua untuk memahamkan kepada anak-anak kita, saudara-saudara kita, teman-teman kita, bahkan PACAR kita (jika ia memang bukan asli penduduk Kabaena). Untuk lebih arif menjelaskan kepada mereka bahwa melolaica ada adabnya, ada aturannya, ada nilai yang harus kita penuhi. Yang tanpanya itu, kondisi sosial akan mengalami ketimpangan. Sehingga jangan heran ketika kita melanggar adab tersebut kita dikucilkan bahkan dicemooh.
          Lingkup kerrja ‘guru’ adalah sangat terbatas. Dan bahkan kadang-kadang guru pun biasa alpa atau bahkan tidak tahu bahwa melolaica itu ada adabnya.
          Karena sist harus ingat bahwa guru product sekarang tidaklah sama dengan guru product dulu. Contoh kecil saja, guru melarang merokok, tapi dia sendiri justru merokok.

          • nia:

            ini dilematis. bagaimana mungkin kita melarang murid merokok sementara guru yang melarang adalah perokok bahkan ada guru yang menyuruh anak siswa membelikan rokok. Kita mulai dari diri sendiri. Benahi diri dahulu lantas menularkan kebaikan pada sekeliling kita. Optimis jika kita sabar melakukannya

  • swastika:

    sangat bagus artikel ini dijadikan topik bahasan. Saya juga melihat ada pergeseran budaya dan adab bergaul dikalangan anak-anak zaman sekarang. Bukan berarti mendiskreditkan anak zaman sekarang tetapi jika dibandingkan dengan anak muda era tahun 70-an sangat jauh berbeda. Dulu anak-anak murid sangat hormat pada gurunya dan berbeda dengan zaman sekarang. Ini nilai yang perlu kita hantarkan pada generasi muda Kabaena agar tetap menjunjung tinggi etika terutama dalam hal mololaica seperti topik bahasan ini

    • Miss. Jouzu:

      Benar sekali sist, di Kabaena sekarang ini telah terjadi pergeseran nilai yang cukup signiffikan. Adalah hal yang membahagiakan kita jika itu adalah pergeseran menuju kearah yang positif. Namun yang terjadi dilapangan, pergeseran yang terjadi justru didominasi oleh hal-hal yang negatif. Sebenarnya ini tidak akan terjadi jika masyarakat Kabaena sendiri sadar dan melaksanakan tata aturan warisan dari leluhur mbue-mbuento miano mperiOu. Dan tentunya sangat diperlukan kontrol dari masyarakat dalam pelaksanaan aturan-aturan tersebut

      • swastika:

        kita harus optimis. Tak ada kata terlambat asalkan juga kita sebagai masyarakat yang tinggal di Kabaena selalu peduli menanamkan nilai-nilai budaya dalam hal bertatakrama. Budayakan mengucap salam jika masuk rumah, menjabat tangan guru yang perpapasan dengan kita, dll

        • Miss. Jouzu:

          Optimis adalah modal awal untuk melaksanakan aturan-aturan yang dimaksud. Dan tentunya diikuti dengan kontrol masyarakat di tempat tersebut.

  • della:

    baru mendengar kata Lumanga pada tulisan ini. Biasanya yang tak mengindahkan jam bertamu itu adalah para pria penyuka bola atau suka main remi junjung bantal 🙂

    • Miss. Jouzu:

      Oh sister Della mungkin baru mendengar kata lumanga karena tidak bermukim di Kabaena ya…
      Tidak semua pria penyuka bola dan yang suka main remi yang bertamu sampai diatas jam 9. Justru banyak kasus bukan disebakan karena yang dua itu. Melainkan karena ingin berlama-lama di rumah perempuan yang dia jambangi ((pacaran). Dan ini biasanya dilakukan oleh para pendatang yang belum tahu adab-adab melolaica di Kabaena. Atau bisa saja tuan rumah (wanita) yang tidak sengaja menjelaskan ke teman prianya bahwa melolaica di Kabaena ada adabnya.

      • della:

        Berarti harus tuan rumah yang memberi pengertian. Jika dibiarkan nanti kita sebagai warga kabaena tak punya nilai dimata pendatang. Yang benar aja hingga tengah malam masih saja dirumah orang

        • Miss. Jouzu:

          Tepat sekali sist, seharusnya tuan rumah (wanita) harus rela berbenah diri meluangkan waktu untuk membuang kata ke tamunya bahwa di Kabaena itu ada adab yang harus diikuti. Ada aturan yang kita anut, ada norma yang harus dilaksanakan.
          Cuman masalahnya, (biasa lho yang penulis jumpai). Ada beberapa case justru si wanita enjoy ajja dengan situasi yang terjadi. Justru bangga jika dikunjungi hingga berlarut-larut. Padahal kan sungguh tidak akan menurunkan harga dirinya jika ia mau dengan senang hati memberi pengertian kepada teman prianya bahwa masih ada waktu esok hari

  • sindo:

    budaya Lumanga dikenakan pada pria yang melakukan pelecehan pada seorang wanita. Baik itu disengaja maupun tak disengaja dan ini terakhir berlaku hanya pada masyarakat Kabaena sekitar thn 70-an dan setelahnya jarang sekali ada seorang pria kena adat Lumanga ini. Dan biasanya Lumanga ini dikenakan pada Pria kabaena dan belum pernah ada pria pendatang yang dikenakan Lumanga ini. Atau mungkin pernah ada saya belum mendengarnya.

    • Miss. Jouzu:

      Itulah lemahnya adat Kabaena, karena budaya lumanga ini hanya diberlakukan kepada pria Kabaena. Seharusnya langkah yang bijak adalah aturan ini tetap diberlakukan kepada pria pendatang. Jangan ada pemisahan, agar terlihat adil.

  • Hee ana.ate dikana kana kua namoveu vidio kilumanga nde”e

    • Miss. Jouzu:

      Inilah yang penulis maksud sebagai pergseren nilai. Anak-anak muda dianggap tidak mengikuti zaman jika tidak mengikuti perkembangan yg terjadi tanpa memilah apakh itu negatif dan berimbas buruk di kehidupan mereka kelak

  • tamu yang baik adalah mengetuk pintu sebelum masuk dan berpamitan dengan santun lalu meninggalkan rumah dengan keadaan sopan…semoga artikel ini bisa menjadi bahan untuk membenahi akidah muslim dan muslimah sekarang ini sehingga tidak ada lagi Khalwat tersembunyi diantara laki dan perempuan..

    • Miss. Jouzu:

      Aamiiin ya Robbal Alamaiin. Supaya jangan tinggal cerita bahwa penduduk Kabaena itu 100 persen Muslim. Padahal cuman di KTP doang hehehehehe

  • Muniati:

    mantap benar artikel ini. Terlihat sepele tapi sebenarnya sangat urgen untuk dibuatkan thread seperti ini. Dan jika melihat perilaku ana ate adiy kana2 nda’a ngkana ana’ate mperiou. Mealu dakura adati. Harusnya jika ada tamu asing segera diberitahu jika ada aturan bertamu apalagi kalau dirumah vaipode. Sudah semestinya adat lumanga diberlakukan terhadap tamu yang seperti ini.

  • ab_nbx:

    like this nih artikel…sayangnya syarat lumanga ini hanya berlaku untuk org kabaena dan ringan bagi kaum pendatang, seharus syaratx lebih berat d timpakan kepada pendatang agar tidak memandang remeh kepada pribumi.

  • Knot:

    additional articles:

    Wedding Traditions in Morocco

    When: Historically, Moroccans celebrated weddings on Sundays in the fall at the end of the harvest, when there was plenty of food to feast on.

    Attire: This varied greatly by region. But what they all shared was color — and lots of it — including yellow (to scare away evil) and green (to bring good luck). In preparation for the day, the bride and her attendants, or negaffa, would have a henna party, receiving temporary tattoos on their hands and feet (with the bride’s being the most intricate, of course).

    Activities: A traditional Moroccan wedding lasted up to seven days, with separate parties for the men and women. The first three days were spent preparing, partying and beautifying the bride. On the fourth, the couple was married. On the fifth and sixth days, the celebrations raged on. Finally, on the seventh day, the parties combined and the bride was placed on a cushion and held aloft in front of friends and family. The men would hoist the groom onto their shoulders, and the new couple would be carried off to a special room to consummate their marriage.

    The Food: Fish and chicken, ancient symbols of fertility, were often served. Guests dug into tajine (a chicken, beef and lamb stew mixed with almonds, apricots, onions and other spices) alongside heaping piles of couscous.

    The Music: The bride and groom were ushered into the reception with a lively wedding march called the zaffa, complete with music, dancing and even flaming swords. Guests would boogie down throughout the night to the sounds of drums, tambourines and a string instrument called a zither.

    Added Perk: Sure, the wedding was exhausting, but Moroccan brides got some serious pampering too — namely, massages and milk baths (hammam) to purify themselves for the special day (er, week).

    A special thanks to: Lisa Light, founder of DestinationBride.com and author of Destination Bride: A Complete Guide to Planning Your Wedding Anywhere in the World (2005); and Timeless Traditions: A Couple’s Guide to Wedding Customs Around the World (2001) by Lisl Spangenberg.

    My Blog: https://www.theknot.com/

Leave a Reply for Knot

Categories
Instagram

Share |